Wanita sebagai Alat Reproduksi
Sejak berabad-abad yang lalu di Indonesia, khususnya masyarakat tradisional, peranan wanita memang selalu identik dengan pekerjaan rumah tangga. Aktifitasnya tak pernah jauh dari dapur dan tempat tidur. Seperti memasak, menghidangkan makanan, mengatur rumah, megurus anak, dan mempersolek diri untuk suami, sehingga tidak ada waktu untuk istri keluar rumah mengikuti pengajian, atau acara sosial lainnya. Padahal dalam islam tidak ada istilahnya lelaki lebih dari wanita ataupun sebaliknya wanita lebih dari laki-laki kecuali hanya dalam hal mencari nafkah. Semuanya adil sesuai dengan kodratnya masing-masing, mereka memiliki hak dan kewajiban masing-masing.
Sudah menjadi kodrat wanita untuk melahirkan sehingga wanita sebagai mesin reproduksi (hamil, melahirkan, dan menyusui) harus mampu mengurus, mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Rasulullah bersabda, “Ibu adalah tempat pendidikan pertama bagi anak-anaknya”. Mengapa bukan Bapak yang merawat anak? Karena, sang Ibu sejak mengandung sampai dewasa lebih dekat dengan anak-anaknya. Sejak dalam kandungan, sang janin berposisi sujud dan melekat dalam rahim sang ibu. Saat itu, janin sudah dapat mendengar, merasakan, dan merekam seluruh aktifitas lahir dan batin sang ibu. Menitek, mulut dan seluruh anggota badan balita menempel kayak prangko di tubuh ibunya. ASI adalah sari pati kejiwaan sang ibu kemudian kelak menjadi karakter sang anak. Tidak aneh apabila nanti memiliki model karakter kayak ibunya.
Jika ada prilaku atau kata-kata anak yang dianggap salah dan kurang sopan, atau jika ada masakan yang kurang cocok, maka ibulah yang jadi sasarannya. Wanita atau istri dianggap sebagai penyebabnya dan dikakatakan tidak becus dalam mengurus keluarga. Sehingga terjadilah pertengkaran, kekerasan dalam rumah tangga yang akhirnya berujung pada perceraian.
Ibu yang berstatus sebagai istri menjadi orang kepercayaan untuk menjaga denyut kehidupan rumah tangga beserta isinya. Istri yang baik menurut Rasulullah saw. adalah bila dipandang menyenangkan, bila diperintah suami dia patuh, bila ditinggal suami (mencari nafkah) ia bisa menjaga hartanya dan mendidik anak-anaknya serta mempertahankan kehormatannya.
Ibu merupakan pendidik yang pertama, sejak dilahirkan dari rahim ibu, sang bayi yang belum mampu melakukan sesuatu uantuk mempertahankan hidupnya, ibu jualah yang menjaga dan membelainya. Dalam dekapan ibu, bayi yang lemah mendapatkan sentuhan kasih sayangnya. Inilah salah satu rahmat Allah. Stigmati sebagai mahluk yang lemah sering menyertai kaum ibu. Padahal mereka adalah insan yang memiliki potensi yang luar biasa. Namun karena terabaikan oleh kaum Adam yang senantiasa mendapatkan prioritas, seringkali menenggelamkan potensi kaum ibu dan tidak dapat teraktualisakan. Pradigma ini harus dirubah. Bapak dan Ibu sama-sama memiliki potensi yang harus dikembangkan. Untuk itu ada tiga hal yang dapat dilakukan, kita singkat dengan tiga “E”, yaitu:
- Enlighten (pencerahan), maksudnya membuka wawasan kaum ibu yang dapat mengasah kreatifitasnya.
- Edukate (pendidikan atau pembelajaran), maksudnya meningkatkan pengetahuan kaum ibu sebagai bekal mereka dalam mendidik putra putrinya.
- Empowerment (pemberdayaan), maksudnya memberikan kesempatan dan motivasi untuk mendorong kaum ibu untuk mengembangkan talentanya, bakat dan keterampilannya. Sehingga mereka dapat mandiri dan ikut berperan dalam rumah tangga dan lingkungan masyarakat.
Wanita Sebagai Alat Produksi
Pada masa sekarang ini keterlibatan wanita dalam sektor produksi sudah biasa. Ada wanita yang full bekerja di luar rumah sama dengan pria. Misalnya petani, kalau tiba musim tembakau, wanitalah yang banyak ikut andil dalam produksi tersebut, yaitu mulai menanam, menyiram, bahkan ada yang mencangkul sendiri meskipun masih ada yang menggunakan jasa orang lain. Ada juga sebagian yang lain memilih kerja paruh waktu atau menjadikan rumah tinggal mereka sebagai pusat dari kegiatan wanita mencari nafkah, seperti berjualan, alasanya anak-anaknya tetap dididik dan diawasi.
Bekerja paruh waktu atau penuh, berarti wanita sudah ikut berperan sebagai pencari nafkah keluarga (produksi), walupun begitu keterlibatan wanita di sektor produksi tidak berdampak pada perlakuan yang sama untuk suami dalam mengurus keluarga dan anak. Tugas domestik tetap dianggap kerja istri, suami jarang sekali yang terlibat mengurus rumah tangga dan anak-anaknya secara intens. Salah satu suami penyebab suami bersikap seperti itu adalah kebijakan yang dibuat pemerintah. Undang-Undang nomor 1 tahun 1974, perkawinan yang secara ikplisit menyebutkan, suami adalah kepala rumah tangga, istri adalah pengurus rumah tangga. Dampaknya, pada sat wanita ikut berperan dalam aktifitas ekonomi peran tersebut masih dianggap sampingan.
Saat ini banyak wanita yang berpenghasilan lebih tinggi dari suaminya tetap dominan dalam mengurus anak-anak dan keluarganya. Tidak jarang dalam kondisi lelah sepulang kerja wanita masih harus memasak untuk makan malam keluarga dan membantu mengerjakan PR anak. Waktu senggang wanita dihabiskan di rumah, sementara suami pergi olah raga atau berkumpul bersama teman-temannya. Ironisnya lagi dampak negatif yang penulis temukan, apabila penghasilan istri lebih tinggi dari pada suami, mengakibatkan kewibawaan suami selaku kepala keluarga berkurang. Istrilah yang memimpin arus ekonomi keluarga,sedangkan suami hanya mengikuti kehendak istri dan tidak punya daya untuk mengubah hal tersebut. Sementara di tempatnya bekerja, wanita adalah warga kelas dua. Berdasarkan pemetaan Badan Pusat Statistik, bahwa rata-rata penghasilan yang diterima pekarja perempuan 60 % dari upah pria. Perempuan dianggap mudah dikendalikan, tidak banyak menuntut dan bersedia digaji rendah. Di Indonesia juga terdapat kecenderungan untuk memberikan tunjangan hanya kepada pekerja pria. Tujnjangan anak dan suami hampir tidak ada. Belum lagi ketentuan perusahaan yang mensyaratkan pekerja perempuannya untuk tidak melakukan reproduksi dahulu selama kurun waktu tertentu. Perusahaan juga beranggapan, cuti melahirkan bagi karyawan perempuan dianggap pemborosan dan inefesiensi. Perlu diketahui bahwa sebelum wanita terjun ke dunia publik, haruslah terlebih dahulu melihat sisi plus minusnya. Positifnya, jelas perekonomian keluarga akan meningkat, sebab suami istri sama-sama bekerja dan anak-anakpun akan melihat bahwa ibunya adalah seorang pekerja yang ulet, cerdas dan rajin bekerja. Namun di sisi lain banyaknya waktu yang dihabiskan di luar rumah (mencari nafkah) membuat kita merasa prihatin, sebab anak-anak merasa dirinya jarang bersantai bersama orang tuanya. Seorang ibu yang seharusnya memperhatikan tumbuh kembang anak dan teman bermain bagi anak-anaknya juga sebagai inspirasi dan lentera keluarga, justru mengabaikannya lantaran kesibukan yang ada di luar rumah. Sehingga pertumbuhan fisik dan jiwa mereka kurang mendapatkan perhatian secara maksimal yang akhirnya anak bisa terjerumus ke jurang kenakalan remaja.
{ 1 comments... read them below or add one }
mantap... kunjung balik
Post a Comment