Pengertian Perkawinan

Posted by fajar

Menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 



Dalam Kompilasi Hukum Islam, pasal 2 menyebutkan bahwa perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Perkawinan menurut Hukum Islam juga dapat diartikan akad yang  menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang keduanya bukan muhrim dan apabila diperinci merupakan akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual (Sudarsono, 1991 : 39). 

Perkawinan yang diharapkan menurut Hukum Perkawinan Nasioanal yaitu ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Andi Tahir Hamid, 1994 : 9).

Tujuan perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan demikian setiap perkawinan diharapkan agar berlangsung selamanya (kekal) dan bahagia. Keluarga bahagia ini dimulai dari susunan masyarakat yang tentram dan damai. Keluarga ini pula diharapkan memiliki keturunan yang baik, terdidik dan menjadi anggota masyarakat yang baik pula. (Sudarsono, 1991 : 39).

Pada pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dalam perkawinan itu antara suami-istri harus saling membentuk dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan material dan spritual (Sudarsono, 1991 : 7).

Syarat sahnya perkawinan menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1975 yang mengatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang berdasarkan hukum perkawinan nasional, yaitu perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Untuk hukum masing-masing agamanya berarti hukum dari salah satu agama kedua mempelai bukan berarti hukum masing-masing yang dianut oleh kedua mempelai (Hadikusuma, 1990 : 26).

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 4 menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam, sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dalam hukum Islam, sah atau tidaknya perkawinan adalah didasarkan atas rukun atau syarat perkawinan. Rukun adalah sebagian dari hakekat perkawinan. Sedangkan syarat adalah segala sesuatu yang harus ada dalam perkawinan. Syarat-syarat perkawinan merupakan bagi sahnya perkawinan. Jika syarat-syarat terpenuhi, maka perkawinannya sah dan menimbulkan adanya segala kewajiban dan hak-hak perkawinan. (Sabiq, 1996 : 78).

Dari pengertian diatas baik menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam maupun menurut pendapat dari para sarjana, pada dasarnya semuanya mempunyai inti persamaan. Berdasarkan pengertian perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, terdapat 4 unsur yaitu :
1.   Ikatan lahir batin, maksudnya ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja (ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami-istri/ hubungan formal ini nyata baik pihak yang terkait maupun dengan pihak ketiga), tapi juga ikatan batin yaitu suatu hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak tampak, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dimana ini merupakan pondasi atau ikatan dasar untuk membina dan membentuk keluarga yang bahagia.
2.    Antara seorang pria dan seorang wanita, artinya ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan wanita dimana diluar dari itu tidak diperbolehkan dan juga mengandung azas monogami.
3.     Sebagai suami istri, kapan suatu ikatan antara seorang pria dan wanita dapat dipandang sebagai suami istri adalah bilamana ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah dalam artian memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang.
4.    Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan tujuan perkawinan dan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang bahagia. Hal ini penting agar keluarga-keluarga yang terbentuk adalah keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Mahas Esa. (Soetojo Prawirohamidjojo, 1986 : 5)

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment